Terobosan Hakim Dalam Mengadili Hard Cases
Menuju Keadilan Yang Progresif Melalui Judicial Activism
Oleh: Cahyono
Tujuan hukum adalah semata-mata untuk mencari keadilan. Sedangkan konsep keadilan yang digunakan adalah konsep keadilan yang dikembangkan John Rawls yang mengembangkan konsep keadilan sebagai justice as fairness (keadilan sebagai kejujuran), jadi prinsip keadilan yang paling fair itulah yang harus dipedomani. Menurut John Rawls ada dua prinsip dasar keadilan yaitu keadilan yang formal dan keadilan yang substantif sebagai berikut:
“The first statement of the two principles reads as follows. First: each person is to have an equal right to the most extensive scheme of equal basic liberties compatible with a similar sheeme of liberties for others. Second: social and economics inequalities are to be arranged so that they are both (a) reasonaby expected to be everyone’s advantage and (b) attached to positions and offices open to all”.
Dari prinsip keadilan tersebut, maka setiap orang memiliki hak yang sama dengan skema yang paling luas dari kebebasan dasar yang sama sesuai dengan skema sedemikian rupa, sehingga keduanya (a) cukup diharapkan untuk keuntungan semua orang, dan (b) yang melekat pada posisi dan kantor terbuka untuk semua semakin menunjukkan bahwa keadilan itu adalah hak setiap orang, apa dan bagaimanapun status sosial ekonominya.
Menurut Rawls, ada dua kewajiban natural yang sangat penting: (1) kewajiban untuk mendukung dan mengembangkan institusi-institusi yang adil dan (2) kewajiban natural untuk saling menghargai. Keadilan merupakan sebuah nilai primer bagi manusia, maka kewajiban untuk selalu bersikap adil menuntut bahwa ketika keadilan harus ditegakkan dengan menggunakan cara-cara yang adil pula. Hal penting yang harus diperhatikan dalam kaitan tersebut adalah peringatan Rawls untuk menghindarkan praktik-praktik yang tidak adil sekalipun dilakukan atas nama keadilan. Keadilan tidak boleh ditegakkan dengan cara-cara yang tidak adil. Cara-cara yang tidak adil, meskipun dilakukan atas nama keadilan, tetap saja bertentangan dengan esensi keadilan itu sendiri.
Keadilan sebagai fairness tidak akan pernah menjadi kenyataan dalam kehidupan warga apabila tidak ada kesadaran luas akan pentingnya saling menghargai sebagai sebuah nilai moral diantara anggota masyarakat. Oleh sebab itu, sikap saling menghargai harus dapat dilihat juga sebagai suatu kewajiban natural yang pengungkapannya menjadi bukti nyata dari saling pengakuan diantara anggota masyarakat sebagai pesan moral. Rawls menegaskan bahwa setiap anggota masyarakat harus tunduk pada batasan-batasan institusional, tetapi tidak ada tuntutan moral yang dapat begitu saja muncul dari fakta adanya lembaga-lembaga. Rawls menyadari dengan baik untuk tetap melihat perbedaan antara tuntutan-tuntutan moral di satu pihak dengan tuntutan-tuntutan legal institusional di lain pihak. Oleh karena itu, kendati memberi tekanan yang sangat kuat pada prinsip keadilan dan sikap saling menghargai sebagai prinsip-prinsip moral yang harus ditegakkan demi suatu kerjasama yang saling menguntungkan, namun Rawls tetap percaya bahwa himbauan moral saja tidak mencukupi. Masih dibutuhkan prinsip-prinsip legal institusional yang memang memiliki kekuatan memaksa individu dari luar untuk bisa bersikap adil dan menghargai hak pihak lain. Rawls menyebut dukungan dan kepatuhan pada lembaga-lembaga yang adil sebagai suatu kewajiban natural manusia.
Dalam mencapai acces to justice, harus menempuh cara yang berliku dikarenakan jalan menuju kesana membutuhkan sarana yang bersifat ekonomis dan intelektual. Sedangkan keadilan merupakan suatu nilai yang teramat tinggi kedudukannya dalam masyarakat, oleh karena itu perlu mendapat pelayanan yang sebaik-baiknya bagi mereka yang mencarinya. Keadilan dan pemberian keadilan merupakan masalah yang kompleks dan rumit. Manajemen keadilan yang bijaksana tentu akan menanganinya sesuai dengan kompleksitas tersebut.
Dalam sistem peradilan yang paling sederhana, figur di pengadilan cukup berpusat pada “Hakim” yang notabene adalah juga penguasa politik. Sistem peradilan demikian juga sangat mengandalkan sifat kharismatik sang hakim. Sebagaimana Weber membagi tiga tipe otoritas yang niscaya terdapat dalam masyarakat manusia sebagai berikut:
“He saw law as going through three ideal stages of development:
- Charismatic – where leality arises from harismatis revelation-ie as grift of grace – through ‘law prophets’, who are rules believed to have extraordinary personal qualities. The law which they propound is supported by an administrative apparatus of close aides or ‘disciples’.
- Traditional – where charisma may become institutionalised through descent and the law-making powers pass to a successor. Law is then supported by tradition and inherite status as in the case of new monarchies.
- Rational – where there is a ‘systematic elaboration of law and professionalised administration of justice by persons who have received their legal training in a learned and formally logical manner’. In this case the authority of law is based on the accepted legitimacy of the law-givers, rather than on charisma. There is a rationalised legal order which dominates in an empersonal fashion.
Masing-masing tipe otoritas tersebut, menentukan model penyelenggaraan hukum (baik law-making, law-finding, maupun law-enforcement). Dalam rezim otoritas kharismatik, tidak terdapat pembuatan hukum. Namun yang ada hanyalah penemuan hukum lewat intuisi dan bisikan supranatural. Akibatnya penerapan hukum hanya mengandalkan kebijaksanaan etis moral yang unik dari tokoh kharismatik. Oleh karena sifatnya sangat individual dan penuh misteri, bisa jadi penerapan hukum didasarkan pada emosi, intuisi dan rasa pribadi sang pengadil.
Weber menyebutkan keadilan yang dikejar dalam sistem seperti ini sebagai keadilan kadi atau keadilan Solomonian. Peradilan kadi adalah peradilan yang sangat arbiter dan karena itu juga dinilai sebagai peradilan yang paling tidak rasional. Putusan-putusan peradilan ini sepenuhnya dipercayakan kepada kearifan sang pengadil, tanpa dirasakan perlunya untuk dikontrol oleh keniscayaan sistem. Koridor kekuasaan demikian longgarnya, sehingga lama-lama disadari bahwa tanpa ada pembatasan, kekuasaan itu mudah disalahgunakan. Menyerahkan hukum ke tangan hakim yang lalim pada hakikatnya sama saja dengan membawa hukum di tangan penyamun yang “main hakim sendiri”.
Dalam proses penyelesaian sengketa di Pengadilan, hakim dituntut aktif memahami makna Pasal 5 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yakni sebagai hakim mempunyai tanggung jawab yang melekat pada tugas sebagai hakim untuk aktif dalam rangka mewujudkan keadilan bagi masyarakat. Adapun implementasi tersebut sejalan dengan imbauan Carbonnier bahwa “demikianlah senantiasa telah terjadi bahwa selama ribuan tahun, dituntut adanya para hakim yang berpikir”.
Perubahan paradigma legalistik menjadi paradigma yang lebih memihak pada “social justice” ini merupakan “desirata” atau kebutuhan utama dalam dunia peradilan. Sebagaimana Oliver Wendell Holmes mengatakan bahwa:
“The life of law has not been logic; it has been experience. The felt necessities of the time, the prevalent moral and political theories, institutions of public policy avoewed or unconscious even the prejudices which judges share with their fellowmen, have had a good deal more to do than the syllogism in determining the rules by which men should be governed”.
Tugas yang diemban oleh aparat penegak hukum sebagaimana dikemukakan oleh Immanuel Kant merupakan “kewajiban kategoris” atau “kewajiban mutlak” dan tidak mengenal istilah “dengan syarat”. Tugas adalah tugas, wajib dilaksanakan.Pelaksanaan tugas hakim adalah dalam rangka “mendistribusikan” keadilan. Hakim melalui penanganan suatu kasus melaksanakan distribusi keadilan bagi negara atau masyarakat, korban dan juga pelaku.Bukan malahan sebaliknya, sebagaimana digambarkan oleh pujangga besar Ki Ronggowarsito, dalam serat “Joko Lodang Kawedar”, bait 4 dan serat “Sabda Pranawa”, bait 4, sebagai berikut:
“Sasedyane tanpa dadya, sacipta-cipta tan polih, kang reraton rantas mrih luhur asor pinanggih, bebendu gung nekani, kongas ing kanistanipun wong agung nis gungiro, sudireng wiring jrih lalis, ingkang cilik tan tolih ring cilikira”. Terjemahannya sebagai berikut:
“Hampir setiap rencana tiada menemukan sasarannya, dan segala sesuatu yang difikirkan dan dibangun tiada memberikan kegunaan. Yang angkuh bergaya bagaikan raja berguguran, ingin diatas tapi malahan terjerumus ke bawah, karena didatangi kemarahan dari Tuhan, banyak yang terkenal karena rendah budinya, orang-orang besar/para pembesar kehilangan kebesaran jiwanya, berani malu tapi takut mati atau takut kehilangan jabatannya, sedangkan rakyat kecil tiada tahu akan kedudukan dan hak-haknya. (Serat Joko Lodang Kawedar, bait 4).
“Beda lan kang pengajaping kapti, ngaji pupung mupung dari gesang sadina-dina den tutke, rubendaning tyas ngumbruk, gung kinintil mung atut wuri, riwut ing nala, arawat dahuru, korup kaserang tyas gowah, wahanane gorohnya saya andadi, sedaya mung yun cidro”. Terjemahannya:
“Berlainan dengan apa yang dikehendaki oleh orang banyak/rakyat, mereka ngaji pupung maupun sedang hidup berkuasa, setiap hari selalu diikuti, oleh gangguan-gangguan hati yang menumpuk yang semakin lengket mengikuti, hatinya semakin risau tidak menentu, menderita tekanan-tekanan batin pantas hati semakin parah menderita, akibatnya keinginan bohong menjadi-jadi, semua orang cenderung ingkar dan luntur kesetiannya serta suka saling memfitnah.
A. Permasalahan
Dari uraian tersebut di atas, maka yang menjadi permasalahan adalah:
“Bagaimanakah terobosan hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus kasus-kasus yang rumit, komplek, sulit dan tergolong “hard cases” agar menghasilkan putusan yang berkeadilan?”
B. Pembahasan
Setiap kali persoalan-persoalan hukum muncul dalam nuansa transisi, namun penyelenggaraan hukum terus saja dijalankan layaknya kondisi normal. Hampir tidak ada terobosan cerdas menghadapi kemelut transisi pasca orde baru. Hukum dijalankan sebagai rutinitas belaka (business as usual) dan akibatnya hukum terdorong ke jalur lambat dan mengalami kemacetan yang cukup serius.
Pemahaman hukum menurut Satjipto Rahardjobukan hanya sekedar teks undang-undang, bahwa “hukum sebagai dokumen antropologi”, namun hendaknya dalam pemahaman hukum tersebut dapat menempatkan manusia (anthropos) pada titik pusat. Sikap intelektual ini menjadikan hukum tidak hanya berkisar pada masalah perundang-undangan (binnen de kader van de wet). Hukum adalah masalah manusia dan paradigma disini adalah hukum untuk manusia. Manusialah yang dipermasalahkan bukan undang-undang. Sikap intelektual demikian akan mendorong terjadinya praksis yang penuh kreatif, inovatif dan progresif.
Hukum diperlukan kehadirannya untuk mengatasi berbagai persoalan yang terjadi. Eksistensi hukum sangat diperlukan dalam mengatur kehidupan manusia. Tujuan hukum adalah untuk melindungi kepentingan manusia dalam mempertahankan hak dan kewajibannya. Hukum dalam wujud putusan hakim hanya mengikat pihak-pihak tertentu saja. Hal ini berbeda dengan hukum yang dibuat lembaga legislatif dalam wujud undang-undang yang mengikat secara umum. Sehubungan dengan hukum dalam arti produk lembaga legislatif dan hukum dalam arti putusan hakim memiliki kelebihan dan kelemahan. Undang-undang lebih menjamin kepastian hukum sedangkan kelemahannya adalah lamban dan statis. Sedangkan putusan hakim kadar kepastiannya lebih rendah dibandingkan dengan undang-undang tetapi kadar elastisitasnya jauh lebih tinggi daripada undang-undang. Melalui putusan-putusan hakim yang berkualitas dan kreatif maka hakim dapat melakukan berbagai terobosan hukum.
Terobosan hukum yang dilakukan oleh hakim menjadi penting karena menurut R. Dworkin tidak semua kasus hukum yang komplek dan sulit atau hard cases dapat secara langsung ditemukan jawabannya dalam hukum positif yang tersedia. Dalam hard cases diperlukan kemampuan menganalisis, menginterpretasi dan melakukan terobosan hukum untuk mendapat jawaban yang tersedia. Meskipun demikian, para hakim bukan dan seharusnya tidak, menjadi pembuat hukum. Oleh karena itu bagi R. Dworkin tetap dibutuhkan teori yang lebih memadai untuk menangani kasus berat. Apabila hakim tidak boleh membuat hukum sementara hakim dihadapkan kasus berat, bagaimana terobosan hukum bisa dimungkinkan ? Dworkin menjawab pertanyaan dengan memberi perbedaan yang jelas antara argumen prinsip (argumen of principles) dan argumen kebijakan (argumen of policies). Disebut argumen kebijakan ketika hakim berusaha mempertanggungjawabkan keputusan dengan menunjukkan manfaat bagi komunitas politik secara keseluruhan. Sementara argumentasi prinsip adalah argumen hakim yang membenarkan putusan karena pada dasarnya menghormati atau melindungi hak-hak individu atau kelompok. Setiap kasus baik hard cases maupun clear cases pada hakikatnya unik sehingga memerlukan interpretasi hukum yang baru atau dengan kata lain tidak pernah ada dua perkara yang sepenuhnya serupa.
Para hakim bukanlah legislator karena tugasnya adalah melakukan ajudikasi (adjudication) atau memeriksa dan mengadili. Tugas membuat undang-undang itu ada dalam ranah legislasi. Kendatipun demikian pada akhirnya hakimlah yang menentukan apa yang dikehendaki oleh undang-undang. Sebagaimana pendapat Dworkin yang dikutip Satjipto Rahardjo, Hakim sesungguhnya juga “membuat hukum” pada tingkatan lebih tinggi. Hal ini dikarenakan hakim memutuskan hukum itu tidak dilakukan dengan membaca teks (textual reading) melainkan menggali moral dibelakangnya (moral reading).
Pelaksanaan tugas hakim dalam rangka memberi keadilan bagi masyarakat dan pencari keadilan maka hakim dapat menggunakan kekuasaan yang luas sebagai judge made law. Apabila perundang-undangan tidak mempunyai jawaban dan tidak pula ada putusan pengadilan mengenai perkara yang sejenis yang akan diputuskan maka hakim akan mencari jawabannya pada pendapat sarjana hukum. Jika pendapat ahli hukum tidak diketemukan untuk dijadikan pedoman oleh hakim untuk memutus perkara maka hakim dibenarkan untuk menemukan hukum dengan jalan interprestasi dan konstruksi hukum, kalau perlu mengadakan contra legem terhadap pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang telah ada. Hakim dapat menjawab segala masalah hukum baru yang muncul melalui judicial activism, dalam rangka mewujudkan keadilan sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat yang berkembang dinamis.
Dalam rangka menegakkan aturan-aturan hukum, diperlukan adanya institusi yang dinamakan kekuasaan kehakiman (judicative power). Kekuasaan kehakiman diselenggarakan oleh badan-badan peradilan negara. Tugas pokok badan peradilan adalah memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan oleh masyarakat pencari keadilan. Pelaku inti yang secara fungsional melaksanakan kekuasaan kehakiman adalah hakim. Soejono Koesoemo Sisworo mengemukakan bahwa tugas hakim dirumuskan “paling anggun” yaitu alat kekuasaan yang merdeka yang menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia yang pada setiap keputusannya wajib memuat kalimat kepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman tersebut, hakim harus memahami ruang lingkup tugas dan kewajiban sebagaimana telah diatur dalam perundang-undangan. Setelah memahami tugas dan kewajiban, selanjutnya hakim harus berupaya secara profesional dalam menjalankan dan menyelesaikan pekerjaannya. Profesionalitas seorang hakim dilaksanakan dengan peran aktif (judicial activism) dari hakim dalam proses peradilan.
Judicial activism perlu diupayakan secara sungguh-sungguh oleh seorang hakim dikarenakan pengetahuan hakim yang terbatas, sebagaimana dikemukakan Richard A. Posner bahwa hakim “bukan profesor” dengan penguasaan ilmu yang umum tidak seperti profesor dengan ilmu yang khusus (spesialis), sebagai berikut:
“…. Realism about judges is sorely lacking there. Law is taught as if judges were second class professors, professors manque-legal analysts lacking the specialized knowledge of the law professor.”. Selain itu seorang hakim juga sudah terbiasa dengan pola kerja yang hanya menerima perkara (judicial passivity), sebagaimana diungkapkan: ….The curious judicial passivity that result from judges being accustomed simply to decide whatever is brought to them to decide, rather than to initiate anything….
Dalam rangka melaksanakan tugas tersebut, seorang hakim melalui metode penemuan hukum berperan aktif melaksanakan judicial activism dalam putusan-putusannya dalam rangka mewujudkan keadilan sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat yang berkembang dinamis. Tugas hakim dalam mewujudkan keadilan tidak terlepas dari putusan yang dihasilkan. Sebagaimana diungkapkan James C. Reymond bahwa teknik membuat putusan yang baik adalah seni (art) bukan sekedar hanya ilmiah (science). Oleh karena seni maka seseorang dapat sepanjang hidupnya mengembangkan dan melalui proses belajar senantiasa mengarah naluri keindahannya.
Dalam sistem yang berlaku di Indonesia, metode penemuan hukum (rechtvinding) sebagai salah satu atau bentuk tehniko yuridik yang dihasilkan oleh kombinasi antara ilmu pengetahuan dan pengalaman hakim sebagai profesi (knowledge and experience). Sebagaimana menurut J.M. Polak bahwa penemuan hukum sesungguhnya memiliki pelbagai segi yang bersifat logis-rasional-ilmiah tapi sekaligus juga intuitif-irrasional. Rasional-ilmiah (intellectual) dalam arti hakim (seharusnya) berkemampuan mengenal dan memahami kenyataan kejadiannya (fakta dan positanya) dan peraturan hukumnya yang berlaku dan akan diperlakukan beserta ilmunya; logis-intellektual dalam penerapan peraturan hukum normatif terhadap kasus posisinya harus mengindahkan hukum logika, baik yang formil maupun yang materiil; sedangkan aspek intuitif-irrasional-nya adalah terletak dalam hal penemu hukum (hakim) itu melibatkan, menggunakan dan mendambakan perasaannya yang halus dan murni mendampingi ratio dan logika, sehingga bersama-sama mewujudkan rasa keadilan yang dibimbing oleh hati nurani, dan dapat mengejawantahkan putusan yang adil berdasarkan kebenaran.
“Hati nurani” (geweten/conscience of man) seorang hakim dapat berfungsi sebagai faktor yang dapat mencegah dan menjaga penemuan hukum dari penalaran dan penghayatan permasalahan yang mungkin sekali serba tidak pasti (wilekeurig/arbitrair). Sebagaimana lebih dikonkritkan adanya rasa teposliro dengan mulatsiro. Kemampuan ini sekiranya pada akhirnya ditingkatkan terus dengan selalu diasah dan diasuh, sehingga menerima hidayah dan inayah dari Tuhan Seru Sekalian Alam. Sebagaimana disampaikan oleh Paul Scholten bahwa penemuan hukum sebagai Rechvinden is altijd tegelijk intellectueel en intuitief zedelijk werk.
Kemampuan mengambil suatu putusan yang dimiliki seorang hakim sebagaimana pendapat Josef Esser diperoleh selama menempuh pendidikan dan meniti karir yang dijalaninya. Kematangan pengetahuan dan pengalaman dari hakim sangat penting dalam mengambil suatu putusan. Hal ini sebagaimana juga dikemukakan oleh Oliver Wendell Holmes, dengan mengatakan bahwa “the life of the law has not been logic; it is experience”. Sebagai hakim, Holmes memilih untuk mengikuti parameter “pengalaman”. Melalui pengalaman ini, menurutnya dimungkinkan bagi hakim untuk keluar dari belenggu skema logis. Pengalaman tersebut tidak mempunyai rujukan kepada perundang-undangan, melainkan kepada sesuatu yang lebih spontan (onmiddelijk) dan hakim merasakan hal itu. Memutus berdasarkan pengalaman adalah berdasarkan pada apa yang oleh Paul Scholten disebut sebagai onmiddelijk evident. Scholten mengatakan bahwa dalam putusan-putusan yang dibuat oleh hakim terdapat unsur lompatan (in de beslissing zit ten slotte altijd een sprong), serta tidak percaya bahwa putusan itu hanya dicapai melalui simpulan logis.
Apapun metode pendekatan yang akan dipakai oleh hakim pada penemuan hukum, yaitu bertemunya methodenwahl in der Rechtsfindung. Uraian argumentasi pertanggungjawaban semestinya dipaparkan dalam ratio decidendi dan dimana perlu juga dalam obiter dicta dari putusan. Oleh karena itu harus dibuat seakseptabel mungkin untuk pihak-pihak yang berperkara, masyarakat maupun forum ilmiah.
Ada beberapa kendala yang berkaitan dengan penemuan hukum hakim sebagaimana diungkapkan Soejono Koesoemo Sisworo bisa bersifat objektif atau subjektif ataupun kedua-duanya. Pada satu pihak objeknya yakni masalah/perkara yang diperiksa adalah tidak sederhana (complicated), sedangkan di pihak lain yakni hakim ada kekeliruan atau tidak proporsional metodologinya dan atau “semrawut-arbiter psikologinya”.
Metodologi disini adalah jalan yang harus ditempuh/diikuti untuk menemukan penyelesaian dan pemecahan masalah (untuk membuat putusan) bersifat ilmiah atau bisa juga bersifat rutin kebiasaan (schablonenarbeit). Sarana itu khususnya yang ilmiah menjadi agak “terdesak kebelakang” sejak Josef Esser secara empiris komparatif bisa membuktikan bahwa ……das unsere akademische Methodenlehre dem Richter weder. Metode ilmiah akademis itu tidak dapat memberikan bantuan maupun pengawasan bagi pekerjaan hakim (Hilfe noch Kontrolle bedeutet). Aspek yang menonjol pembentukan putusan justru aspek “psikologinya” atau tergantung pada temperamen atau kepribadian hakim yang bersangkutan.
Ada dua momentum penting dalam proses pembentukan putusan, yaitu fase heuristis atau context of discovery, yaitu proses pencarian mengenai fakta-fakta yuridis yang relevan dan pasal undang-undang atau peraturan hukum yang sesuai dengan mengesampingkan kesan pribadi atau bisikan hati atau ilham pendahuluan yang bisa subjektif. Pada pihak lain adalah fase legitimasi atau context of justification yang merupakan konstruksi pembenaran yuridis kemudian setelah diperoleh kesan pribadi dari data yang membentuk vorentsheidung. Hakim yang kuat bekal ilmu pengetahuan dan pengalaman dalam bidangnya sekiranya tidak akan banyak mengalami kesulitan dan atau kekeliruan (error facti maupun error iuris) pada fase heuristik ini. Namun pada fase legitimasi (contect of justification) khususnya yang didahului kesan pribadi, ilham bisikan hati yang diperoleh secara intuitif besar sekali kemungkinannya menjadi amat subjektif dan rawan. Pada umumnya pertimbangan tersebut didorong motif-motif irrasional, misalnya: egoism, haus kekuasaan, pamrih pribadi, loba tamak, rakus, purbasangka, kemunafikan, kecanduan budaya konsumerisme dan suplaierisme.
Kendala pada fase legitimasi (context of justification) yaitu yang berupa konstruksi pembenaran kemudian segera setelah penelaahan singkat atas kasus perkara secara intuitif diperoleh pra putusan adalah berupa pertimbangan-pertimbangan berdasarkan kebenaran semu (artificial) yang seringkali didorong faktor-faktor irrasionil sebagaimana telah disebutkan di atas.
Keaktifan hakim menjadi penting dalam rangka mewujudkan keadilan sebagaimana Satjipto Rahardjo dengan mengutip pendapat Paul Scholten bahwa keadilan itu (memang) ada di dalam undang-undang, tetapi (masih) harus ditemukan (het recht is in de wet moet nog gevonden waeden).Peran aktif dari hakim perlu dilakukan melalui pertimbangan-pertimbangan dalam putusan dalam rangka mewujudkan keadilan sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat yang berkembang dinamis. Para hakim diminta untuk melakukan apa yang menjadi intisari fungsi yudisial. Apabila dilakukan dengan benar, tugas hakim tidaklah mudah. Hakim harus menyeimbangkan kepentingan-kepentingan manusia yang saling bertentangan agar tercapai situasi sosial yang baik. Apabila kekuasaan hukum ini tidak dilaksanakan secara baik, maka masyarakat akan menderita.
Menurut Satjipto Rahardjo bahwa hakim merupakan “garda” terdepan dalam penegakan hukumuntuk secara progresif berani menguji sejauh mana batas kemampuan undang-undang itu (testing the limit of law). Sebagai contohnya, yang dapat dikatakan sebagai hakim progresif adalah:
- Hakim Agung Bismar Siregar yang lebih memilih keadilan daripada undang-undang, dimana Bismar telah melakukan pengujian terhadap batas kemampuan hukum. Keadilan yang tertimbun teks harus dimunculkan kembali. Bismar Siregar kerap melakukan terobosan hukum, menurutnya hukum dan undang-undang hanya sarana mencari keadilan. Hakim adalah wakil Tuhan di muka bumi, sehingga dia berhak memutuskan sesuai dengan hati nurani, walau undang-undang sendiri belum mengatur hukuman itu. Hakim Bismar, pernah menambah vonis 10 kali lipat dari tuntutan jaksa terkait dengan perdagangan ganja; putusan Bismar mengubah hukuman bagi seorang guru yang mencabuli muridnya dari hukuman 7 bulan menjadi 3 tahun; dan Bismar pernah menjatuhkan vonis terhadap kasus pemerkosaan di Bekasi dihukum mati, walaupun hukum positif hanya mengatur ancaman 12 tahun, karena menurut Bismar hukuman tersebut tidak seimbang dengan kekejian yang telah dilakukan terdakwa;
- Hakim Agung Adi Andoyo Soetjipto, adalah seorang hakim yang tidak puas dengan kebenaran formalis, kebenaran menurut undang-undang, tetapi selalu mencari kebenaran yang dilandasi oleh nilai-nilai yang universal. Tindakannya selalu dipertimbangkan dan selalu berada diantara berbagai kepentingan tanpa memihak diantara salah satu kepentingan yang ada. Sikapnya objektif sehingga semua informasi ilmiah menjadi bahan pertimbangannya, tanpa kecuali sekalipun bergeser dari kebiasaan atau ajaran tradisional dalam rumusan undang-undang. Beliau mampu menghasilkan pertimbangan-pertimbangan diluar pertimbangan yuridis, melainkan pertimbangan non yuridis namun tetap berada dalam wilayah hukum menurut ajaran Empirical Legal Theory.
Gambaran hakim yang demikian tidak salah kalau dikategorikan sebagai seorang hakim yang berpikir scientific. Hal ini terlihat dimana beliau tidak semata-mata bekerja untuk membuat dan menetapkan putusan dengan melihat dan menerapkan secara bulat-bulat aturan-aturan hukum yang bersifat abstrak melainkan senantiasa melihat masalah yang dihadapi dalam konteks yang lebih luas. Aturan hukum yang dihadapinya tidak dilihat sebagai sesuatu yang abstrak dan apa adanya sebagaimana yang tertulis, tetapi dilihatnya sebagai proses yang isi maupun rumusannya bisa saja berubah dari waktu ke waktu sesuai kondisi masyarakat saat itu.
- Hakim PTUN Benyamin Mangkoedilaga, yang saat itu termasuk barisan hakim yang tidak sekedar menerapkan undang-undang secara harfiah, tetapi berani menguji batas kemampuan hukum pada saat mengalahkan pemerintah dalam kasus majalah Tempo.Putusan hakim yang menyebutkan tindakan pembatalan SIUPP bertentangan dengan UU Pokok Pers merupakan langkah yang berani dan ternyata masih ada hakim yang mampu membuat keputusan diluar tekanan birokrasi. Ini menjadi penting dikarenakan sengketa yang ditangani lembaga PTUN di belahan dunia manapun sering diwarnai aspek atau sisi politik atau kemungkinan dipolitisir.
Sudah semestinya, judicial activism dilakukan oleh hakim dengan menemukan hukumnya, yang menurut DHM Meuwissen mengartikannya sebagai keseluruhan berpikir dari seorang hakim dengan metode (penemuan hukum) mengantarkan dan membawanya kepada suatu putusan hukum ataupun pengembangan hukum dan pertumbuhan hukum. Dalam arti yang khusus, adalah proses dan karya yang dilakukan oleh hakim yang menetapkan benar atau tidak benar menurut hukum dalam situasi konkrit yang diujikan pada hati nurani.
Sudikno Mertokusumo, mengartikan penemuan hukum sebagai proses konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkrit (das sein) tertentu. Hakim selalu dihadapkan pada peristiwa konkrit, konflik atau kasus yang harus diselesaikan atau dipecahkan dan untuk dicari hukumnya. Dengan demikian problematik yang berhubungan dengan penemuan hukum pada umumnya melekat pada profesi hakim. Selain itu hasil penemuan hukum oleh hakim merupakan hukum karena mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum karena dituangkan dalam bentuk putusan. Adapun hasil penemuan hukum oleh hakim itu merupakan juga sumber hukum.
Penemuan hukum bagi seorang hakim ketika sedang menghadapi kinerjanya dalam memecahkan dan memutuskan kasus-kasus yang rumit, pelik, dan tergolong “hard casus”, sangatlah penting, dan saat itu pulalah, berbagai persoalan yang berkaitan dengan “rechtstheoretis” dan “rechtfilosofis” akan selalu timbul dan harus diputuskan dengan cermat, teliti, dan sesuai hati nurani, dengan berbagai disiplin ilmu, perundang-undangan, doktrin, jurisprudensi dan kajiannya secara mendalam, dengan mendasarkan kepada kebenaran, yang berkeadilan – Ketuhanan Yang Maha Esa, yaitu:
- Apakah penemuan hukum itu sekedar merupakan penerapan hukum (rechtstespassing), yakni memasukkan atau mem-subsumsi-kan fakta posita (premis minor) ke dalam peraturan hukum/undang-undang (premis mayor) secara sillogisme formil untuk selanjutnya ditarik konklusi mana yang benar dan yang salah menurut hukum, sebagaimana dianut oleh aliran positivism hukum karena disadari anggapan bahwa undang-undang itu adalah lengkap dan sempurna untuk menjawab setiap persoalan yuridis;
- Ataukah merupakan penerapan hukum, tetapi dengan dasar anggapan dan pengakuan bahwa undang-undang itu tidak selalu lengkap sempurna, akan tetapi pula undang-undang tersebut dianggap memiliki kekuatan ekspansi logis atau jangkauan melebar menurut logika (logische Expansionskraft), sebagaimana diajarkan oleh Begriffs jurisprudenz dan Konstruktionsjurisprudenz;
- Ataukah dalam menanggapi kemelut atau tubrukan antara pelbagai kepentingan dan nilai-nilai kemasyarakatan, penyelesaian diadakan dengan terarah dengan pembentukan hukum (rechtsvorming), undang-undang ditempatkan dalam posisi sekunder, sedangkan sebagai kompas, jiwa dan aspirasi rakyat digunakan hukum kebiasaan, sebagai sumber hukum yang utama sebagaimana diajarkan oleh aliran Interessenjurisprudenz, aliran sejarah atau aliran sosiologis;
- Ataukah sebagai penciptaan hukum (rechtsshepping) sebagaimana diajarkan oleh aliran Hukum Bebas (Freirechtsschule), yakni bebas dari ikatan mutlak undang-undang, namun bebas pula untuk mempertimbangkan kepentingan-kepentingan masyarakat yang saling berlawanan sebaik mungkin, sehingga dapat dijelmakan ketenteraman dan harmoni yang dinamis;
- Atau sebagai penemuan hukum (rechtvinding) yang merupakan karya logis rasionil, sebagaimana diajarkan oleh aliran Sistem Hukum Terbuka;
Apabila melihat permasalahan rechtstheories dan rechtsfilosofis dari penemuan hukum tersebut, maka diperlukan penemuan hukum yang progresif, dikarenakan hukum progresif lebih mendekati kepada Interessenjurisprudenz, yang berangkat dari keraguan tentang kesempurnaan logika yuridis dalam merespons kebutuhan atau kepentingan sosial dalam masyarakat.
Penemuan hukum yang progresif sangat penting bagi pembangunan hukum di Indonesia, dengan alasan: Pertama, hukum progresif merupakan hukum yang membebaskan. Salah satu peran hukum progresif merupakan hukum yang membebaskan. Salah satu peran hukum progresif adalah melakukan terobosan dalam kegiatan penafsiran hukum terhadap ketentuan hukum yang berlaku. Hukum progresif pada dasarnya tetap mengakui pentingnya ketentuan hukum yang berlaku. Hukum progresif pada dasarnya tetap mengakui pentingnya ketentuan hukum yang tertulis dan tidak terikat secara normatif, tapi bebas melakukan terobosan pemikiran hukum demi keadilan. Bagi penegak hukum progresif, sumber hukum adalah rasa keadilan masyarakat. Oleh karena itu diperlukan kecerdasan spiritual yaitu peran hati nurani dalam menangani setiap kasus hukum yang dihadapkan kepadanya. Kedua, hukum progresif merupakan solusi utama yang ditawarkan adalah perubahan paradigma serta orientasi dalam memandang hukum tertulis, hanya memberikan porsi lebih banyak pada pentingnya faktor keadilan, kesejahteraan, kepedulian rakyat sebagai tujuan utama dari hukum. Ketiga, hukum progresif sebagai gerakan pembebasan (dalam semua tahapan penegakan hukum). Konsep hukum progresif menuntut hukum selalu “bergerak” dalam mengimbangi perkembangan kebutuhan manusia yang membutuhkan jaminan dan perlindungan hukum. Hukum tidak boleh terbelenggu dalam pola pikir apa yang dikatakan undang-undang melainkan membuka diri dan hati untuk menemukan keadilan.
C. Kesimpulan
Peran hakim dalam rangka memberi keadilan bagi masyarakat dan pencari keadilan, ketika menghadapi kasus-kasus yang rumit, komplek dan tergolong “hard cases”, maka hakim dapat menggunakan kekuasaan yang luas sebagai judge made law. Apabila perundang-undangan tidak mempunyai jawaban dan tidak pula ada putusan pengadilan mengenai perkara yang sejenis yang akan diputuskan maka hakim akan mencari jawabannya pada pendapat sarjana hukum. Jika pendapat ahli hukum tidak diketemukan untuk dijadikan pedoman oleh hakim untuk memutus perkara maka hakim dibenarkan untuk menemukan hukum dengan jalan interprestasi dan konstruksi hukum, kalau perlu mengadakan contra legem terhadap pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang telah ada. Hakim dapat menjawab segala masalah hukum baru yang muncul melalui judicial activism, dalam rangka mewujudkan keadilan sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat yang berkembang dinamis.
D. Saran
Agar tercapai para hakim yang progresif, Mahkamah Agung perlu melakukan reformasi dalam hal:
- Pola Rekrutmen Hakim Yang Berkualitas;
- Pendidikan dan Pelatihan Hakim Yang Berkesinambungan;
- Peningkatan Moralitas Hakim Melalui Budaya Hukum Hakim (Judicial Culture);
- Meningkatkan Kerjasama Lembaga Pengadilan Dengan Pendidikan Tinggi, dan Lembaga Yudisial Lainnya.
E. Daftar Pustaka
Achmad Ali. 2013. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence). ctk. Kelima. Jakarta: Kencana.
Achmad Ali dan Wiwie Heryani. 2013. Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.
Bambang Sutiyoso. 2012. Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum Yang Pasti dan Berkeadilan. Yogyakarta: UII Press.
Bernard L. Tanya et all. 2013. Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi. Yogyakarta: Genta Publishing.
Cavendish Law Cards. 1977. Jurisprudence. Great Britain: Cavendish Publishing.
Eman Suparman. 2012. Arbitrase & Dilema Penegakan Keadilan. Jakarta: Fikahati Aneska.
Hwian Christianto. Penafsiran Hukum Progresif dalam Perkara Pidana. Jurnal Mimbar Hukum. Vol. 23 No. 3. Oktober 2011.
John Rawls. 1971. A Theory Of Justice. Cambridge Massachusetts. The Belknap Press of Harvard University Press.
Paulus Efendi Lotulung. 2013. Hukum Tata Usaha Negara Dan Kekuasaan. Yogyakarta: Salemba Humanika.
Peter de Cruz. 1999. Comparative Law in Changin World. London-Sydney: Cavendish Publishing Limited (edisi terjemahan oleh Narulita Yusron). 2012. Perbandingan Sistem Hukum. Ctk. Ketiga. Bandung: Nusa Media.
Richard A. Posner. 2010. How Judges Think. Harvard University Press. United States.
Ronald Dworkin. 1978. Taking Rights Seriously. Cambridge Massachusetts: Harvard University Press.
Rusli Muhammad. 2013. Lembaga Pengadilan Indonesia Beserta Putusan Kontroversial. Yogyakarta: UII Press.
Satjipto Rahardjo. Hukum Progresif: Aksi, Bukan Teks dalam Satya Arinanto dan Ninuk Triyanti (ed). 2010. Memahami Hukum Dari Konstruksi Sampai Implementasi. Jakarta: Rajawali Press.
———. 2007. Mendudukkan Undang-Undang Dasar (Suatu Pembahasan dari optik ilmu hukum umum). Semarang: BP Undip.
———. 2010. Penegakan Hukum Progresif. Jakarta: Kompas Media Nusantara.
Sudikno Mertokusumo. 2014. Penemuan Hukum. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya.
Soejono Koesoemo Sisworo. Beberapa Aspek Filsafat Hukum Dalam Penegakan Hukum. Makalah disajikan dalam Diskusi Panel dengan tema Fungsi dan Tugas Birokrasi dalam Menegakkan Hukum Serta Berbagai Aspek Yang Terkait didalamnya oleh Fakultas Hukum UNDIP hari: Selasa, 20 Desember 1988.